Dampak Revolusi Industri 4.0 dalam Perkembangan Pekabaran Injil Gereja Masa Kini
Definisi mengenai Industri 4.0 beragam
karena masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Kanselir Jerman, Angela
Merkel (2014) berpendapat bahwa Industri 4.0 adalah transformasi komprehensif
dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi
digital dan internet dengan industri konvensional. Schlechtendahl dkk (2015)
menekankan definisi kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yaitu
sebuah lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan
mampu berbagi informasi satu dengan yang lain. Pengertian yang lebih teknis
disampaikan oleh Kagermann dkk (2013) bahwa Industri 4.0 adalah integrasi dari
Cyber Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS)
ke dalam proses industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses lainnya.
CPS adalah teknologi untuk menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya.
Penggabungan ini dapat terwujud melalui integrasi antara proses fisik dan
komputasi (teknologi embedded computers dan jaringan) secara close loop (Lee,
2008). Hermann dkk (2015) menambahkan bahwa Industri 4.0 adalah istilah untuk
menyebut sekumpulan teknologi dan organisasi rantai nilai berupa smart factory,
CPS, IoT dan IoS. Smart factory adalah pabrik modular dengan teknologi CPS yang
memonitor proses fisik produksi kemudian menampilkannya secara virtual dan
melakukan desentralisasi pengambilan keputusan. Melalui IoT, CPS mampu saling
berkomunikasi dan bekerja sama secara real time termasuk dengan manusia. IoS
adalah semua aplikasi layanan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku
kepentingan baik secara internal maupun antar organisasi. Terdapat enam prinsip
desain Industri 4.0 yaitu interoperability, virtualisasi, desentralisasi,
kemampuan real time, berorientasi layanan dan bersifat modular. Berdasar
beberapa penjelasan di atas, Industri 4.0 dapat diartikan sebagai era industri
di mana seluruh entitas yang ada di dalamnya dapat saling berkomunikasi secara
real time kapan saja dengan berlandaskan pemanfaatan teknologi internet dan CPS
guna mencapai tujuan tercapainya kreasi nilai baru ataupun optimasi nilai yang
sudah ada dari setiap proses di industri. (https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jgti/article/viewFile/18369/12865)
Fenomena
disrupsi yang mewarnai perkembangan peradaban Revolusi Industri
4.0, dengan dukungan kemajuan pesat teknologi, akan membawa kita pada
kondisi transisi revolusi teknologi yang secara fundamental akan mengubah cara
hidup, bekerja, dan relasi organisasi dalam berhubungan satu sama lain. Dan dunia industri sudah
mengalami 3x revolusi industri dan sedang menghadapi revolusi yang ke 4 atau
yang dikenal Revolusi Industri 4.0. (http://setkab.go.id/revolusi-industri-4-0-dan-transformasi-organisasi-pemerintah/)
Revolusi pertama ditandai dengan ditemukannya mesin uap, yang
menyebabkan berkembangnya mesin-mesin industri di Inggris pada tahun 1784. Hal
ini diyakini membawa pertumbuhan luar biasa di bidang pertanian dan manufaktur,
terutama tekstil dan turunannya.
Revolusi kedua pada awal abad ke 19 ditandai dengan perbaikan di sisi proses,
yaitu mass production dalam skala besar (berkat inovasi dari
Ford). Meskipun penemuan dari sisi teknologi lebih ke arah iteratif (listrik
dan transportasi), kombinasi cara produksi dan perembangan teknologi membawa
pertumbuhan terutama untuk industri besi, mesin, minyak, kimia, kendaraan dan
sebagainya.
Revolusi ketiga, masa otomasi, dimulai setelah Perang Dunia I, sekitar
tahun 1960–70, ditandai dengan penggunaan teknologi tinggi otomatis menggunakan
elektronik dan teknologi informasi. Hal ini berlangsung hingga sekarang, dimana
mesin, peningkatan kapasitas produksi dan software menjadi pendukung utama
proses manufaktur. (https://blackdesk.io/menakar-gelombang-revolusi-industri-4-0-dan-peran-transformasi-digital-a27fbf68fb98)
Melalui beberapa penjelasan diatas sebenarnya
saat ini kita sudah masuk dalam Revolusi industri 4.0 bahkan telah kita
praktekkan. Hal ini ditandai dengan maraknya ekspansi dunia digital dan
internet ke kehidupan masyarakat, terutama dalam lima tahun terakhir. Pertanyaannya
apakah "kesadaran" para pemberita penginjil terhadap Revolusi
Industri 4.0 ini memang benar-benar dalam posisi siap atau baru
persiapan? (https://www.kompasiana.com/ipe/5a488c8bdd0fa85b0f00ed52/apa-itu-revolusi-industri-4-0)
Gereja dalam
melaksanakan tugas pengutusannya, kita pahami sebagai sebuah panggilan untuk
melaksanakan apa yang diamanatkan Yesus kristus, ketika Ia terangkat ke Surga.
Didalam pelaksanaan tugas itu, kita ketahui yang namanya misi dan penginjilan.
Kedua tugas ini merupakan suatu kesatuan tugas yang gereja tanggapi sebagai
amanat atau perintah langsung dari Tuhan Yesus dalam rangka melakukan
peranannya didunia ini. Alkitab telah banyak memberikan kita catatan-catatan
penting tentang bagaimana pergerakan para murid dan gereja mula-mula dalam
merespon hal ini. Semua itu dapat kita lihat dalam kitab Kisah Para Rasul dan
juga kitab-kitab lain dalam PB bagaimana upaya gereja mula-mula merespon Amanat
Agung itu. Masa kini, sebagian dari gereja juga mengakui bahwa tugas
menjalankan penginjilan dan misi itu juga adalah tugasnya. Pokok permasalahan
bagi gereja masa kini ialah bagaimana gereja menghadapi tantangan dari dunia
dengan kemajemukan yang ada didalamnya, pluralisme, kemajuan teknologi serta
peningkatan ilmu pengetahuan yang semakin membuka ruang bagi manusia untuk
bergerak dan bertindak dengan gaya post modern seperti sekarang ini. Ini
merupakan sebuah tantangan yang sangat luar biasa bagi gereja sebagai subjek
misi. (https://plus.google.com/110763687780039825697/posts/NXA8XEQKE9q)
Gereja sebagai mandataris Allah yang telah menerima Amanat
Agung memiliki tanggung jawab untuk memberitakan Injil kepada setiap orang yang
belum selamat. Gereja adalah pengemban tugas menyampaikan Amanat Agung itu.
Gereja diutus sebagai suatu subjek yang wajib membagikan keselamatan yang telah
diterimanya kepada dunia ini sebagai objek dari misi Allah tersebut. Dunia ini
yang adalah objek dari misi gereja berisi masyarakat luas dengan berbagai macam
ragam perbedaan dan kemajemukan didalamnya dan gereja tidak bisa dipisahkan
dari ha-hal tersebut.
Berangkat dari kata
misi, penulis akan menguraikan sedikit pengertian dari segi etimologisnya.
Missiologi berasal dari kata dalam bahasa Latin missio dan bahasa Yunani logos.
Mission berarti perutusan dengan pesan atau message khusus untuk disampaikan atau
tugas khusus untuk dilaksanakan. Logos berarti ilmu atau studi, kata atau
wacana, yang dari beberapa pengertian itu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
misiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang perutusan. Berangkat dari
segi etimologis dari kata itu, missiologi kurang lebih bisa diartikan sebagai
tugas atau pesan khusus yang harus disampaikan dengan cara yang khusus pula.
Menurut H. Venema dalam bukunya Injil
untuk Semua Orang, mengatakan bahwa definisi Misi atau Penginjilan adalah pengutusan
Gereja oleh Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, untuk melaksanakan perintah-Nya
demi kemuliaan Tuhan yaitu memanggil semua orang di dunia dan mengabarkan
kepada mereka Injil Kerajaan Allah, supaya oleh kuasa Roh Kudus mereka
diselamatkan dari dosa dan penghakiman. Hingga menjadi keluarga kerajaan-Nya
yang melakukan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya. (https://alfianpalarministries.wordpress.com/2009/10/02/misiologi-menurut-perspektif-biblical-part-i/)
Sedangkan
menurut J Verkuyl dalam bukunya Pembimbing ke Dalam Ilmu Pekabaran Injil Masa
Kini, mengatakan bahwa: “misiologi adalah pengkajian karya keselamatan Bapa,
Anak, dan Roh Kudus yang diseluruh dunia terarah kepada realisasi Kerajaan
Allah”( Verkuyl, 1978: 9).
Menurut M. K. Dust
dalam bukunya Missiologie, mnegutip perkataan J. Douma dtusalam bukunya
orientatie de Theologie, memberi definisi sebagai berikut: “Penginjilan adalah
pelaksanaan perintah jabatani yang diberikan oleh yesus Kristus kepada Gereja
dalam nama BapaNya, yaitu untuk menyebarkan Injil Kerajaan dalam zaman Roh
Kudus ini menjadi kesaksian bagi semua bangsa sampai ujung-ujung bumi” (Drust, 1987: 144).
Menurut William Phb.
Killis dalam skripsinya Peranan Misioner dalam Perintisan Gereja,
mengatakan bahwa: “Suatu sikap pengabar Injil (orang yang diutus) dalam
memperkatakan dan menyikapi serta menyaksikan kebenaran Firman Tuhan (Injil)
kepada orang-orang yang belum mengenal kristus dan di bawah pimpinan kuasa Roh
Kudus menjadi suatu pertobatan yang sungguh-sungguh dengan tujuan nama Tuhan
yang dimuliakan, oleh segenap bangsa-bangsa di dunia” (Kilis, 2002: 12).
Mengapa kita harus
memberitakan Injil? Menurut http://lead.sabda.org/files/memenangkan_jiwa.htm
Ada tujuh alasan yakni, pertama karena Yesus adalah Juruselamat dan Ia sendiri
juga yang memberikan mandat untuk memberitakan Injil. Kedua karena tuaian
begitu banyak, karena itu Tuhan mengirim para pekrjanya ke ladang tuaian. Ketiga,
karena para pekerja sangat sedikit ada triliunan orang didunia ini yang butuh
mendengar Injil, dan mereka akan terhilang tanpa Kristus. Tapi hanya sedikit
yang menjadi pekerja. Keempat, karena Amanat Agung yang diberikan Tuhan Yesus
untuk memberitakan Injil pada setiap makhluk. Kelima, karena nubuatan-nubuatan
tentang kedatangan Yesus belum terpenuhi. Kedatangan Kristus ke dunia adalah pengharapan yang
membahagiakan bagi jutaan gereja yang teraniaya. Dengan sukacita kita memegang
erat-erat pengharapan itu. "Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja
menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling
malang dari segala manusia" (1 Kor 15:19). Kita merindukan
kedatanganNya. Keenam, karena Allah akan meminta
pertanggungjawaban kita Allah secara khusus memperingatkan hamba-hambaNya
agar mereka menyampaikan berita yang telah diberikan untuk mereka pada
orang-orang yang harus mereka datang; Karena bila tidak, mereka harus
mempertanggung-jawabkan kegagalan mereka.
Ketujuh, karena
Apa yang Telah Kita Alami. Bagaimanakah kita akan
luput; jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula
diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita
dengan cara yang dapat dipercayai, sedangkan Allah meneguhkan kesaksian mereka
oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh berbagai-bagai pernyataan
kekuasaan dan karena Roh Kudus, yang dibagi-bagikannya menurut kehendakNya (Ibr
2:3-4).
Amanat untuk memberitakan Injil tidak
pernah menjadi sebuah amanat yang usang. Gereja dipilih untuk memberitakan
Injil, meneruskan Injil kepada semua manusia tanpa terkecuali pada segala
tempat dan pada segala zaman. Injil harus terus diberitakan sampai pada kedatangan
kedua dari Tuhan Yesus (Lima Dokumen Keesaan Gereja, 1996: 24).
Pada konteks kekinian juga, pemberitaan
Injil tetaplah merupakan sebuah keharusan, karena bagaimanapun berita mengenai
keselamatan merupakan hal yang urgen bagi manusia pada masa kini. Pemberitaan
injil dalam konteks kekinian bukan hanya sekedar perwujudan kasih tetapi focus
daripada pemberitaan Injil adalah kerajaan Allah, di mana melaluinya ada suatu
kehidupan, seperti yang diutarakan oleh Theo Kobong bahwa “visi pemberitaan
Injil adalah visi kehidupan” (Kobong, 2002: 118).
Cukup sulit untuk mengklasifikasikan persoalan-persoalan yang hadir pada
masa kini dalam persoalan pemberitaan Injil karena abad ini adalah abad yang
terus menerus diwarnai dengan berbagai perubahan yang bergerak dengan cepat.
Zaman ini adalah zaman kecanggihan Iptek dan kemajuan bioteknologi yang
memunculkan harapan-harapan akan kehidupan yang lebih baik, namun di sisi yang
lain menghadirkan berbagai kecemasan (Yewangoe, 2002: 2).
Salah satu isu yang menghadirkan harapan
sekaligus kecemasan adalah apa yang dijelaskan oleh John Naisbitt dan
kawan-kawannya seperti yang dikutip oleh Yewanggoe adalah mengenai persoalan
revolusi komunikasi, mereka berkata bahwa revolusi komunikasi akan begitu rupa
merubah relasi antara manusia yang selama ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Telekomunikasi akan merupakan kekuatan penggerak yang secara serentak menciptakan
ekonomi global yang sangat besar dan menjadikan bagian-bagiannya lebih kecil
dan lebih kuat (Naisbitt, 1977: 51).
Yang dimaksud dalam hal ini adalah
perkembangan telekomunikasi melahirkan harapan akan efisiensi penggunaan
bahasa namun di sisi yang berbeda melahirkan sebuah ketakuatan akan alienasi pada
tataran kehidupan, di mana hubungan kekeluargaan yang selama ini
terjalin dengan erat dalam pertemuan-pertemuan personal tergantikan melalui
pertemuan yang tidak sungguh-sungguh bertemu (Yewangoe, 2002: 2).
Perkembangan-perkembangan dalam dunia
telekomunikasi ini secara tidak langsung mempengaruhi relasi kekristenan
berkaitan dengan pemberitaan Injil, apakah Gereja dapat menggunakan
perkembangan tersebut untuk memberitakan Injil atau sebaliknya justru Gereja
tenggelam dalam alienasi sehingga pemberitaan Injil menjadi
terhambat.
Ini menjadi sebuah persoalan tersendiri,
apakah berita Injil harus berubah (dituntut) dalam kerangka pemikiran
Globalisasi, karena pada hakikat-Nya inti berita Injil tidak dapat diubah.
Apakah yang diubah adalah ‘kemasan’ pemberitaan Injil dan kemasan seperti
apakah yang di harapkan dalam tataran globalisasi dengan segala bentuk
perubahan dan perkembangan yang terus berubah.
Dalam kaitan dengan perkembangan telekomunikasi
ini, kita memiliki ini ada dua bentuk pendekatan yang digunakan
terhadap ini. Pendektan yang pertama adalah melihat perkembangan ini dari sudut
negative, sehingga menolak semua bentuk perkembangan dalam telekomunikasi
karena menurut kelompok ini, komunikasi membawa perubahan yang jelek terhadap
perkembangan kemanusiaan (Iswarahadi, 2003: 22).
Dan alasan yang juga dikembangkan adalah
bahwa penginjilan sepatutnya bukan hanya sekadar memberitakan Injil
tetapi penginjilan adalah hubungan yang manusiawi, personal, asli antara
pemberita dengan orang lain. Penginjilan mewajibkan kita untuk hadir dan bertemu
dengan orang lain secara personal dan alamiah, dalam rangka memperjuangkan,
menghormati, dan menyemangati kehidupan itu sendiri (Richardson, 2010: 18).
Pendekatan kedua, adalah yang lebih
positif dari model pendekatan pertama, yaitu pendekatan yang menerima bahkan
menggunakan media telekomunikasi ini dengan sedemikian rupa untuk penginjilan,
dengan mencermati penginjilan yang paripurna (holistic) maka golongan ini juga
mencermati peran Iptek dalam mewujudkan keselamatan yang paripurna dan
seutuhnya baik dalam dunia maupun dalam menuju surge. Dalam hal ini, Iptek kita
lihat sebagai wahana untuk membawa kesejahteraan manusia, lahir dan batin, di
dunia dan di akhirat (Parapak, 2002: 112).
Golongan ini, menggunakan setiap teknologi
yang ada untuk menyiarkan kabar baik melalui televisi, radio, internet dan
berbagai media lain yang memungkinkan untuk menyampaikan hal ini, penginjilan
bukan hanya sekedar kehadiran, tetapi lebih dari itu merupakan komunikasi
paripurna yang efektif dan karenanya dapat memakai wahana teknologi untuk
meningkatkan efektivitas dan keberhasilan (Parapak, 2002: 116).
Penulis tidak menolak kedua pendekatan di
atas, tetapi penulis mencoba menyatukan kedua pandangan di atas dalam suatu
pendekatan bahwa penginjilan adalah menyampaikan kabar baik tanpa menghilangkan
esensi pemberitaan Injili dan bahwa penggunaan teknologi hanyalah salah satu
bagian dari komunikasi Injili yang efektif, sehingga tidak menghapuskan upaya
dalam pendekatan personal dalam pemberitaan Injil.
Dampak lain dari perkembangan zaman masa
kini, ialah munculnya Post-modernisme yang menolak
kesaksian berita Injil dengan merelatifkan kebenaran Injil menjadi catatan
tersendiri dalam persoalan masa kini. Berita Injil terus dirongrong, bahkan tidak
jarang dibedah demi rasionalitas, humanitas dan kesesuaian dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, dan ini secara tidak langsung memberikan peluang sekularisasi
Injil, sehingga berita Injil bukan lagi menjadi berita sukacita dan keselamatan
melainkan diturunkan derajatnya pada tataran pragmatis.
Ada begitu banyak lagi persoalan yang
hadir di masa kini dalam pemberitaan Injil, namun secara garis besar yang harus
dihadapi Gereja dalam konteks pemberitaan Injil adalah bagaimana
Gereja dapat terus memberitakan Injil dengan terus menjaga
kemurniaan berita Injil dengan menghadirkan kerajaan Allah yang teologis dan
kontekstual.
Dengan kata lain, bagaimana Gereja menata
kembali pola pemberitaan Injil disesuaikan dengan konteks dan perkembangan masa
kini, bagaimana memberitakan Injil dalam masyarakat pengetahuan yang telah
bertumbuh dalam perkembangan telekomunikasi yang pesat, perkembangan
Globalisasi dan keterbukaan terhadap berbagai informasi dalam komunitas majemuk
(pluralis) yang menjunjung tinggi humanitas (http://jameslola86.blogspot.co.id/2013/05/roh-kudus-dan-penginjilan-masa-kini.html).
DAFTAR PUSTAKA
https://alfianpalarministries.wordpress.com/2009/10/02/misiologi-menurut-perspektif-biblical-part-i/
Verkuyl J., Pembimbing
ke Dalam Ilmu Pekabaran Injil Masa Kini, Malang: Gandum Mas, 1978
Drust K. M., Missiologie, USA: Grand Rapid, 1987
Kilis P.hb. William, Peranan Misioner dalam Perintisan Gereja, Jakarta: HITS, 2002
Lima Dokumen Keesaan Gereja,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996
Kobong Theo. “Kerajaan
Allah dan Amanat Agung”. Dalam Sairin Weinata, (ed.). “Visi Gereja
Memasuki Milenium Baru”. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
Yewangoe A. A, “Tantangan
Gereja Memasuki Abad ke XXI”. Dalam Sairin Weinata, (ed.). “Visi
Gereja Memasuki Milenium Baru”. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
Naisbitt John, “Global
Paradox”. Dalam Yewangoe A.
A, (ed.). “Tantangan Gereja Memasuki Abad ke XXI”. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1977
Iswarahadi I. Y, “Beriman
dan Bermedia Antologi Komunikasi”. Yogyakarta: Kanisius, 2003
Parapak L. Jonathan, “Pelaksanaan Pekabaran Injil di Tengah
Perkembangan Teknologi Komunikasi (Informasi)”. Dalam Sairin Weinata, (ed.). “Visi Gereja
Memasuki Milenium Baru” Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2002
mantap
BalasHapus